Ia tak menyangka pria yang selama ini ia dampingi, ladeni dan bantu, bisa bersikap dan berkata sedemikian rupa.
27 Desember:
Bangun pagi kepalanya terasa berat sekali. Dia berusaha bangun dan berjalan menuju ruang makan. Di lemari kecil sebelah meja makan dia menyimpan kotak obat. Tapi yang dia cari ternyata sudah nggak ada. Obat sakit kepala.
Dia lalu menemui suaminya yang sedang menghadapi lapotop di meja kerjanya.
“Pa, masih punya ponstan nggak?” tanyanya lirih. Suaminya memang beberapa kali mengeluh sakit gigi dan merasa terbantu kalau sudah minum obat pereda sakit itu.
Sambil menyorongkan obat yang dimaksud, suaminya bicara, “Ini, ambil aja, belinya pakai uang saya ya!” Deg, dia kaget setengah mati. Kok suaminya bilang begitu?
“Maksudnya apa nih?” sahutnya dengan kesal. Sakit kepalanya tiba-tiba lenyap, berganti dengan dadanya yang berdegup kencang. Dia marah dan merasa sangat tersinggung. “Nggak jadi,” katanya sambil mengembalikan obat ke meja kerja suaminya.
Suaminya menjawab dengan wajah masih memandang ke laptop, “Kemarin kamu beli pepaya dengan tegas bilang pakai uang Dana. Kenapa juga harus bilang begitu? Nah, sekarang saya bilang begitu kamu marah.”
“Lho kemarin kan kamu lagi sibuk kerja dan saya gak ada uang cash, jadi saya minta uang sama Dana. Saya nggak punya maksud apa-apa, cuma izin sama Dana mau pakai uang jajan dia untuk beli pepaya dan dia bilang ok. Kok jadi dipermasalahkan begini....Aneh,” ucapnya sambil pergi.
Dia malas membuat keributan pagi-pagi. Tapi dadanya terasa mendidih. Tiba-tiba dia merasa sangat tersinggung suaminya bersikap kasar begitu kepadanya.
Tanpa bisa ditahan, dia datang lagi ke depan suaminya.
“Kenapa?” tanya suaminya dengan ketus. “Mau ngajak ribut kamu pagi-pagi?”
“Ya kamu sekarang makin kasar dan itung-itungan....”
“Kamu lebih itung-itungan. Kalau baru dikasih uang aja mukanya manis tapi setelah itu marah-marah. Seperti gak ada kegiatan lain selain marah-marah...”
“Enak aja, siapa juga yang masak, beberes rumah, ngatur uang belanja yang selalu pas-pasan....” hatinya sakit sekali dikatai begitu.
“Kalau gak mau ngerjakan nggak usah kerjakan. Tidur aja sana. Suami cari uang setengah mati kamu cuma ngorok siang-siang. Bantuin kek suami cari uang....”
“Ya Allah. Siapa yang ngorok siang-siang?!” sahutnya dengan setengah menangis.
Dia sangat tersinggung dibilang ngorok siang-siang. Padahal semua urusan rumah tangga dia yang bereskan. Suami dan anak tunggal mereka Dana, tinggal terima beres. Mulai dari sarapan, makan siang hingga makan malam selalu siap tepat waktu, rumah bersih dan rapi. Tapi kok masih dianggap nggak ngapa-ngapain?
Dia menangis dan lari kembali ke kamarnya. Dana yang sedang ada di kamarnya, dengar suara tangis ibunya bergegas ke kamar ibunya.
“Kenapa Ma?” tanya anak bujangnya lembut. Dengan penuh sayang, anak laki-laki usia 11 tahun itu mengusap tangan ibunya.
“Nggak tau kenapa papa kamu itu kok jadi kasar sama Mama,” ucapnya dengan terisak.
“Sabar ya Ma. Papa kalau lagi ada masalah memang begitu. Mama kan udah kenal sifat Papa. Mama mau aku bikinkan apa? Teh atau cappuccino?” tanya anaknya dengan suara pelan.
Bukannya menjawab, suara tangisnya malah makin keras. Ia merasa sakit hati sekali diperlakukan kasar oleh laki-laki yang selama ini dia dampingi, layani dan bantu setiap yang dia tidak mampu.
Tapi dengan gampangnya dia menghilangkan perannya itu hanya karena ia salah omong. Sebetulnya sudah beberapa waktu ini suaminya kalau bicara tentang uang selalu ketus. Dia selalu menuntut dia bantu mencari uang, karena kondisi keuangan usaha mereka memang sedang buruk.
Sudah beberapa usaha dia coba, jualan online, jadi reseller dan sebagainya, tapi hanya jalan beberapa lama, setelah itu tidak ada pergerakan sama sekali. Akhirnya dia menyerah dan fokus mengurus rumah tangga dan bantu usaha suaminya yang sekarang berkantor di rumah, karena sudah tidak sanggup sewa kantor.
Dana dengan sabar mengusap punggung tangannya, ia yang masih terus terisak sesekali membalas dengan menggenggam tangan anaknya. Dana sesekali memeluknya. Dia jadi terenyuh. Bila suaminya bisa setega itu kepadanya, anaknya malah begitu penuh perhatian kepadanya. Anak remajanya berusaha membujuk dan menguatkan dirinya yang sedang terluka.
Seketika dia balikkan badannya dan dia peluk anaknya dengan erat. “Maafkan Mama yang Nak. Mama jadi cengeng begini....”
“Gak papa Ma. Mama wanita kuat yang selama ini sangat sabar ngadepin Papa. Mama istirahat aja dulu. Aku bikinkah teh pakai lemon ya,” ucap Dana dengan lebut. Ia mengangguk sambil mengelus tangan anaknya. “Makasih Sayang,” ucapnya lirih.
*
Sudah dua hari ini dia tidak bertegur sapa dengan suaminya. Dan suaminya juga tidak menegur dia. Kebetulan anaknya sedang libur semester, jadi dia tidak perlu menyiapkan sarapan maupun bekal makan siangnya.
Suaminya tidur di sofa di ruang tamu. Jadi dia bisa bebas berada di kamarnya, menangis dan merenung.
Dia mogok ngapa-ngapain. Dia biarkan rumah tidak dirapikan, tidak masak, tidak menyediakan kopi maupun makanan di meja kerja suaminya.
Dia minta Dana belikan makanan untuknya dan dia makan di kamar. Dana dipanggil untuk makan sama papanya, tapi dia bilang selalu: masih kenyang. Padahal dia menemani ibunya makan di dalam kamar.
Sementara suaminya dia dengar sibuk di dapur, bikin kopi dan mie instan untuk makan.
Dana menemani dia makan di kamar, sambil makan dia bisik-bisik, “Kalau Mama marah, Papa makannya setiap hari mie instan,:” katanya tertawa tanpa suara sambil menutup mulutnya. Dia yang sedang sedih jadi ikut tersenyum.
“Dan, menurut kamu Mama ini pemalas yang bisanya ngorok siang-siang atau bagaimana?”
“Papa bilang begitu?” tanya Dana dengan mata terbelalak. Dia mengangguk.
“Kelewatan kalau Papa bilang begitu. Mama kan yang ngurusin kita semua, Mama masak macam-macam setiap hari, rumah kita bersih karena Mama dan Mama juga kan bantu bisnis Papa....”
Anaknya benar. Dan dia tidak ingin bertanya lagi lebih jauh. Takut anaknya jadi marah dan benci ke papanya.
Setelah mereka selesai makan dia bilang, “Ya udah, Dana main sana, biar Mama istirahat,” ujarnya sambil menyerahkan piring dan sendok bekas makan ke anaknya.
Anaknya keluar kamar dan bilang dengan suara pelan, “Mama jangan nangis lagi ya....”
Dia menjawab dengan senyum tipis.
*
Tiga belas tahun lalu dia ketemu pria itu, marketing di perusahaan pembuatan barang-barang promosi. Sedangkan dia karyawati di sebuah perusahaan asuransi. Mereka bertemu di kantornya saat pria itu menawarkan produk dari perusahaannya ke tempatnya bekerja.
Dari awalnya bicara masalah pekerjaan di kantor, bergeser jadi ngobrol santai di kafe sepulang kantor. Dan dua tahun kemudian dia mengiyakan ketika pria yang sudah yatim piatu itu melamarnya.
Dia masih bertahan bekerja sampai anaknya usia 7 tahun. Namun ketika ART sudah mulai sulit didapat dan suaminya juga akhirnya memutuskan membuat usaha sendiri, dia pun mengundurkan diri.
Sebetulnya dia merasa berat menjadi ibu rumah tangga seratus persen, tapi karena suaminya ingin membuat usaha sendiri, seperti bisnis kantornya, dan perlu bantuannya untuk bidang administrasi dan sebagainya, dia pun menyetujui.
Awalnya usaha mereka berjalan cukup bagus. Sampai pandemi melanda. Orderan turun drastis. Karena tidak ada lagi acara offair yang memerlukan hadiah atau gift untuk pengunjung.
Ekonomi mereka oleng. Seperti kapal diterjang ombak badai, mereka berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Kadang pinjam ke keluarga untuk modal bila ada pesanan datang. Beruntung anak hanya satu dan sekolah di negeri, sehingga pengeluaran hanya untuk transport dan keperluan sekolah.
Bersyukur anaknya juga bukan tipikal anak yang penuh tuntutan. Ia sangat mengerti orangtuanya sedang dalam masa sulit. Kadang dia merasa pilu melihat anaknya hanya di rumah saat liburan, hanya sesekali diajak papanya keluar untuk cari barang-barang pesanan pelanggan.
Dan sekarang, ia merasa tidak berdaya dengan tekanan ekonomi keluarga dan tekanan mental dari suaminya. Ingin rasanya ia keluar dari semuanya, berlari entah kemana. Namun, wajah polos anaknya seperti menampar wajahnya. Menyadarkannya. Ya, saya gak boleh egois. Saya harus bangkit.
Diambilnya sebuah buku catatan, yang selama ini menjadi tempat tumpahan perasaannya.
Dia tulis besar-besar: TAHUN BARU, POLA PIKIR BARU, KEHIDUPAN BARU!
Senyum tersungging di bibirnya. Resolusi saya tahun ini harus terlaksana: kembali bekerja!***
CERPEN OLEH: MUTIARA BIRU
Ilustrasi: Sona Alejandra/Pexels
« Prev Post
Next Post »