CURHAT:Saya wanita bekerja, saat ini memasuki usia 25 tahun. Tapi mungkin saat membaca masalah saya ini, sekilas terkesan kekanakan. Saya merasa sangat terganggu karena selalu dibanding-bandingkan dengan anak tetangga.
Masa sih sudah besar masih dibanding-bandingkan dengan anak tetangga? Lucu
amat.
Pada kenyataannya sangat tidak lucu. Malah sangat menekan dan membuat
semangat saya kadang down.
Saya anak kedua dari dua bersaudara. Kakak saya laki-laki sudah menikah dan
tinggal di luar kota. Karena saya belum menikah, sampai saat ini masih tinggal
dengan orangtua. Dan saya membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari orangtua yang
sudah pensiun.
Saat kuliah saya memilih bidang yang memang sangat menjadi minat saya,
yakni Biologi.
Ketika memutuskan untuk memilih jurusan Biologi saya sempat diskusi dengan
orangtua, terutama Ayah. Beliau menyerahkan sepenuhnya pilihan kepada saya. Sedang Ibu, awalnya tidak terlalu setuju. Menurut beliau, mengapa tidak mengambil
jurusan yang lebih populer seperti ekonomi atau hukum.
Tapi karena saya bersikeras, akhirnya Ibu setuju saja. Yang penting saya
kuliah sungguh-sungguh dan bisa bekerja dengan baik nantinya.
Setelah lulus saya langsung bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang
analisis kesehatan atau biomedis.
Karena pekerjaannya sesuai dengan minat saya, sehingga saya sangat
menikmati meskipun gajinya tidak terlalu besar. Tapi selalu ada kesempatan
untuk menambah ilmu dengan mengambil beasiswa.
Saya sempat mendapat beasiswa jangka pendek, berupa kursus ke negara
tetangga selama satu tahun. Orangtua saya sangat bangga dengan pencapaian saya
itu. Ibu saya bercerita kepada teman-temannya di kompleks bahwa saya mendapat
beasiswa ke luar negeri.
Namun kebanggaan orangtua, terutama Ibu tampaknya mulai pudar saat beliau
melihat pencapaian anak tetangga. Suatu hari sepulang dari arisan RT Ibu
bercerita bahwa anak tetangga kami yang seusia saya, sudah membeli mobil dan
sekarang sedang mencicil sebuah apartemen. Sementara saya baru mampu mencicil
sepeda motor.
Awalnya saya tidak terlalu terganggu dengan cerita-cerita ibu saya tentang
anak tetangga. Namun ketika setiap saya pulang kantor beliau selalu menanyakan,
“Kapan kamu punya mobil seperti anak Bu X? Masa sudah sekian lama kerja masih
pakai motor?
Saya masih berusaha tenang menjawabnya, “Sabar Bu, saya sedang menabung.”
Jawaban saya itu hanya membuat Ibu tersenyum sinis. “Menabung sampai kapan?
Orang lain seumur kamu sudah punya macam-macam, kamu tetap aja gak punya
apa-apa.”
Sedih sekali dengar Ibu bicara seperti itu, tapi saya sabarkan diri. Karena
memang pekerjaan saya tidak memungkinkan saya untuk mendapat uang banyak, jadi
saya tidak bisa berkomentar apa-apa.
Sementara ayah saya orangnya pendiam dan jarang berkomentar apa pun saat Ibu menyindir saya. Hanya pernah sekali beliau mengingatkan Ibu, “Sudahlah Bu, lebih baik anak kita apa adanya tapi tidak punya masalah keuangan di kantor.”
Tapi
begitu Ayah bicara seperti itu, Ibu langsung marah, “Ya kalau hidup pasrah
terus hasilnya ya begini, kita hidup pas-pasan sampai mati.”
Ayah tau Ibu sedang menyindir dirinya yang memang hanya sebagai pegawai
biasa dan tidak bisa mencari uang tambahan di luar pekerjaannya.
Tidak hanya saat saya pulang kantor, saat saya libur akhir pekan Ibu juga
menyindir-nyindir saya.
“Kamu kok cuma di rumah saja kalau libur? Coba jalan-jalan atau belanja.
Seperti anak teman Ibu selalu ngajak orangtuanya makan di restoran kalau libur
kerja.”
Saya tidak bisa menjawab apa-apa, karena saya memang tidak punya cukup uang
untuk mengajak orangtua makan di luar, karena penghasilan saya hanya cukup
untuk membantu membiayai pengeluaran rumah tangga orangtua saya, selain untuk transporasi
dan keperluan pribadi serta sedikit menabung.
Kalau saya makan-makan di luar saat akhir pekan, berarti saya tidak bisa
menabung. Dan saya juga tidak mau merepotkan orangtua, kalau suatu saat saya
bertemu jodoh dan akan menikah.
Saya terpaksa menahan diri agar saya punya sedikit pegangan untuk masa
depan saya.
Sebetulnya saya ingin marah sama Ibu yang selalu menyindir saya dengan
membandingkan kondisi ekonomi saya dengan anak temannya. Tapi saya selalu takut
membantah perkataan orangtua, jadi saya diam saja.
Kadang saya hanya bisa menangis sendiri, tidak dihargai dan
dianggap tidak sukses, karena penghasilan saya yang tidak membuat orangtua saya
bangga. Padahal banyak teman saya yang sudah bekerja pun masih minta uang dari
orangtuanya.
Mohon saran, apa yang sebaiknya saya lakukan? Apakah sebaiknya saya kost
saja supaya terbebas dari ucapan Ibu yang menyakitkan hati?
Sangat saya tunggu sarannya.
Terimakasih banyak.
Umiati – Surabaya
SARAN:Jangan berkecil hati dengan menganggap masalah Anda
adalah masalah kekanakan. Justru masalah Anda adalah masalah besar yang
dihadapi oleh banyak orang saat ini.
Sikap ibu Anda membanding-bandingkan dengan orang lain adalah sebuah bentuk
teror yang sangat mengganggu.
Bagaimana Anda bisa merasa tenang kalau selalu disindir dan dibandingkan
dengan orang lain secara ekonomi, sedangkan Anda adalah seorang karyawan biasa
yang gaya hidupnya sangat bergantung dengan penghasilan bulanan Anda.
Memang tidak semua orangtua bisa bersikap dewasa. Karena usia memang tidak
menjadi jaminan seseorang bisa berpikir dan bertindak
dewasa apalagi bijaksana.
Maaf, sikap ibu Anda adalah cerminan orangtua yang tidak dewasa apalagi
bijaksana. Semestinya beliau bersyukur memiki anak yang berbakti. Sudah bekerja,
memiliki penghasilan dan bersedia membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari
keluarga.
Seperti Anda bilang, ada teman-teman Anda yang sudah bekerja tapi masih
minta uang ke orangtuanya.
Bisa jadi ibu Anda merasa terganggu dengan kesuksesan anak temannya, yang
secara ekonomi lebih mapan dibandingkan Anda. Namun tentu ada juga anak teman
ibu Anda yang mungkin tidak selesai kuliah, tidak bekerja apalagi membantu
ekonomi orangtua.
Jadi beliau hanya fokus pada anak-anak temannya yang sukses, tapi tidak mau
tahu dengan anak-anak temannya yang gagal.
Saran kami, meski beliau orangtua Anda, tidak ada salahnya Anda
menyampaikan ketidaksenangan Anda dengan sikapnya.
Sampaikan bahwa mohon tidak dibanding-bandingkan dengan siapa pun, misalnya
dengan bicara seperti ini: Saya sedih sekali kalau Ibu bandingkan saya dengan
orang lain. Karena Ibu seperti menganggap saya gagal. Padahal jalan hidup dan
rezeki orang kan berbeda-beda. Meski penghasilan saya tidak seberapa, tapi saya
bersyukur karena hasil kerja saya, hasil keringat saya sendiri dan walau
sedikit bisa membantu orangtua.
Selain itu, sampaikan juga: apa Ibu senang kalau saya bandingkan dengan ibu
lain, yang lebih cantik, yang wanita karier, yang bisa menyekolahkan anaknya ke
luar negeri? Pasti nggak senang kan?
Bukan tidak mungkin ibu Anda akan marah bila Anda bicara seperti itu, tapi
dengan demikian beliau tau bagaimana perasaan Anda. Semoga dengan demikian ibu
Anda akan mengurangi dan kemudian menghentikan ‘aksi terornya’ itu.
Mengenai pindah ke kost, rasanya tidak akan mengubah sikap Ibu, kalau tetap
tidak disampaikan perasaan Anda. Mungkin Anda tidak mendengar lagi omongan Ibu,
karena tidak berdekatan, tapi begitu bertemu, bukan tidak mungkin ‘terornya’
kian gencar. Atau malah disampaikan melalui teks di WA. Itu akan membuat Anda
merasa lebih tidak enak.
Jadi, meski Anda seorang anak, tidak ada salahnya Anda ‘menegur’ ibu Anda
untuk bersikap lebih dewasa dan bijaksana dan satu lagi: menjadi orangtua yang
bersyukur.
Semoga saran kami bisa membantu Anda. Tetap semangat dan tetaplah selalu
bersyukur!***
Foto ilustrasi: Pexels
CURHAT:majalahwanita8@gmail.com
#dibangdingbandingkan
#disindirortu
#ortutidakdewasa
#dewasa
« Prev Post
Next Post »