CURHAT:Saya sebetulnya malu untuk mengungkapkan masalah saya ini. Tapi saya sudah merasa tidak tahan. Kebetulan saya membaca di majalahwanita ini ada rubrik CURHAT, jadi saya memberanikan diri untuk meminta saran.
Saya wanita (32 tahun) memiliki usaha sendiri dan sudah menikah selama 2,5 tahun.
Saat memutuskan menikah dengan suami, saya baru saja putus dengan
kekasih yang sudah 5 tahun menjalin hubungan.
Untuk menenangkan diri saya libur dari semua kegiatan bisnis di Jakarta dan pulang kampung.
Ketika saya pulang kampung, ada keluarga yang berniat memperkenalkan saya
dengan seorang pria. Tanpa pikir panjang saya setuju saja. Dalam hati saya, tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu jodoh. Kata
keluarga saya, pria yang akan dikenalkan adalah dari keluarga terpandang di
kampung kami.
Saat pertama kali berkenalan, saya sudah merasa cocok. Dia anak
bungsu dari 3 bersaudara. Anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Usianya
sama dengan saya, datang dari keluarga baik-baik, satu agama dengan saya dan
ikut mengelola perusahaan keluarga yang cukup sukses.
Satu bulan perkenalan saya dilamar. Pernikahan kami dirayakan dengan pesta meriah & terbilang mewah. Diadakan di kampung kami dan di Jakarta.
Setelah menikah, saya yang selama ini memiliki usaha dan tinggal di Jakarta, untuk sementara ikut suami tinggal di kampung, menumpang di rumah mertua. Hal ini karena suami masih belum
mau pisah dengan kedua orangtuanya dan ia belum tau kalau di Jakarta mau kerja
apa.
Namun karena saya harus mengurus usaha di Jakarta, saya dan suami akhirnya
LDR. Saya tinggal di Jakarta sedang suami di kampung. Tapi beberapa bulan
sekali dia datang menengok saya dan tinggal selama satu sampai dua minggu, lalu kembali ke kampung.
Hubungan kami berjalan lancar selama LDR. Tapi keluarga besar saya
mempertanyakan mengapa kami hidup terpisah. Mereka menyarankan: sebagai suami istri harusnya tinggal bersama.
Saya yang tinggal di kampung atau suami yang pindah ke Jakarta.
Tidak enak dengan omongan keluarga besar, akhirnya saya meminta suami untuk pindah ke Jakarta, karena
bisnis saya sudah cukup maju. Mungkin suami bisa membantu untuk mengelola.
Awalnya dia menolak, dengan alasan dia juga harus mengurus bisnis keluarganya.
Tapi karena saya terus mendesak, akhirnya dia setuju dengan syarat: dia tidak
mau tinggal di apartemen, harus tinggal di rumah biasa.
Untuk memenuhi syaratnya, saya pun menjual apartemen saya dan membeli
sebuah rumah yang cukup layak di sebuah perumahan di Jakarta Selatan. Karena
suami suka menonton film, saya juga sediakan home theater dengan sound system
yang khusus, supaya dia betah di rumah.
Setelah beberapa bulan tinggal bersama berdua saja, baru kelihatan sifat asli suami.
Dia ternyata sangat manja, selalu minta diladeni. Awalnya saya menikmati peran
sebagai istri yang memanjakan suami. Namun setelah beberapa bulan, mulai terasa
dia sangat egois dan menjajah.
Saya baru tahu kalau dia selama ini hanya sekadar diberi posisi di bisnis
keluarganya, tapi tidak berperan sama sekali. Jadi setelah tinggal dengan saya,
dia hanya menghabiskan waktu dengan bermain game di laptop atau HP dan nonton
film.
Dia sama sekali tidak mau tahu urusan rumah tangga apalagi pengeluaran keluarga. Taunya ada dan sangat
marah kalau saya terlambat pulang dari kantor. Semua harus diladeni, kalau saya
terlambat menyediakan kopi atau makan, dia akan teriak-teriak seperti kepada
pembantu.
Saya menderita dan tertekan sekali. Selalu selalu takut kalau dia sampai marah.
Berat badan saya turun drastis. Saya tidak berani mengadu ke keluarga saya,
takut mereka marah kepada suami saya, dan saya yang akan jadi sasaran suami.
Apalagi mengadu kepada keluarga suami, sangat tidak mungkin. Mereka pasti
menyuruh saya sabar dan menerima suami saya apa adanya.
Sementara bisnis saya juga sedang menurun, saya memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan menggunakan uang tabungan. Beruntung kami belum dikaruniai
anak, jadi pengeluaran kami belum begitu banyak.
Mohon saran apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus mempertahankan
pernikahan saya atau minta cerai saja? Bagaimana cara keluar dari tekanan dan
jajahan suami ini?
Saya tunggu sarannya segera. Terima kasih banyak.
Muti – Jakarta
SARAN: Sangat miris membaca curhatan Anda. Wanita mandiri dan
pebisnis andal seperti Anda, diperlakukan sangat tidak adil oleh suaminya.
Kami sangat memahami posisi Anda. Serba salah. Mau mengadu kepada keluarga—baik
dari sisi suami maupun Anda sendiri, kemungkinan besar Anda yang akan
disalahkan. Karena dalam budaya kita masih mengusung konsep: istri harus
mengalah, menerima suami apa adanya. Istri yang mengeluhkan sikap suami
dianggap mengungkap aib sendiri.
Itulah sebabnya, banyak istri yang memiliki suami yang tidak menjalankan
perannya sebagai kepala keluarga, hanya menyimpan penderitaannya sendiri. Berusaha bertahan
dengan harapan suaminya bisa berubah. Mereka pikir, kalau sudah memiliki anak,
kemungkinan suami akan lebih bertanggung
jawab.
Kalau Anda juga memiliki pemikiran demikian, kemungkinan besar Anda akan
kecewa. Pria dengan sifat-sifat kekanankan, tidak mandiri, mengedepankan
egonya, tidak akan berubah secara
otomatis hanya karena pernikahan dan memiliki anak.
Sifat dasarnya itu akan terus terbawa. Kecuali, dia sendiri yang sadar dan berusaha mengubahnya. Berupaya untuk memperbaiki diri.
Dalam hal ini, peran istri
sangat besar untuk bisa membuat pria manja dan tidak
mandiri, bisa menjadi suami yang bertanggung jawab pada keluarganya.
Istri harus kuat mental, memiliki konsep pernikahan yang jelas dan berani
bersikap. Jadi, istri harus bisa ‘mendidik’ suaminya agar tahu perannya dan
menjalankannya secara benar.
Bagaimana cara mendidik suami? Beri dia peran. Beri dia tanggung jawab.
Kalau tidak mau? Mungkin awalnya tidak mau. Seperti juga mendidik anak kecil.
Awalnya mungkin anak melawan, berontak. Tapi kalau kita kuat mental, konsisten
dan memiliki visi yang jelas, maka pelan-pelan anak akan mengerti dan
mengikuti.
Begitu juga dengan suami Anda. Maaf, selama ini mungkin ia tidak sempat
dididik dengan baik oleh orangtuanya. Dia anak yang dimanjakan, dipenuhi semua
keperluan dan keinginannya.
Karena sudah terbiasa menerima perlakuan demikian, dia juga menuntut Anda
untuk memperlakukan dia seperti itu.
Kalau Anda mengalah dan membiarkan dia bersikap demikian kepada Anda,
berarti Anda membiarkan diri Anda untuk dijajah. Jadi bagaimana sebaiknya sikap
Anda?
Mulailah dia diberi tanggung jawab. Misalnya, kalau dia belum punya
penghasilan yang bisa membantu keuangan keluarga, minta dia berbagi tugas rumah
tangga. Misalnya, Anda memasak. Lalu minta dia untuk beberes rumah atau mencuci
baju. Atau tanyakan apa yang bisa dia kerjakan?
Sekali lagi, awalnya dia pasti menolak. Tapi bertahanlah. Jangan ambil alih
tugas yang sudah Anda bagi dengannya. Biarkan dulu. Kalau dia masih memiliki
hati, maka dia tentu pelan-pelan akan mengerjakan tugasnya.
Kalau sudah berbagai cara Anda coba untuk menempatkan posisi dia sebagai
partner hidup, tapi tidak juga berhasil, Anda berhak untuk memutuskan. Jangan takut
pada pandangan orang lain tentang hidup dan kehidupan rumah tangga Anda.
Sampaikan dengan baik-baik kepada suami Anda bahwa Anda tidak sanggup hidup dengan cara seperti itu. Minta berpisah baik-baik. Semua pasti ada risikonya. Anda diam dan menerima perlakuannya, ada risikonya. Begitu juga bila Anda berontak dan keluar dari tekanan ini, tentu juga ada risiko.
Namun, Anda harus sadar: Anda berhak bahagia. Tidak ada yang bisa membantu Anda dalam
masalah ini, kecuali diri Anda sendiri!
Jadi, jangan biarkan diri Anda menderita lahir bathin, hanya karena takut omongan keluarga. Hidup Anda milik
Anda. Anda patut memperjuangkan kebahagian Anda sendiri.
Tetap semangat!***
Foto ilustrasi: Unsplash
#dijajahsuami
#suamianakmanja
#mendidiksuami
#andaberhakbahagia
CURHAT email: majalahwanita8@gmail.com
« Prev Post
Next Post »