Umumnya rumah warisan keluarga di wilayah Minangkabau, berbentuk rumah adat
atau biasa disebut dengan Rumah Gadang atau Rumah Bagonjong, dengan ciri khas atapnya runcing
menyerupai tanduk kerbau.
Namun, rumah besar ini tampil beda. Bergaya Eropa (tepatnya Spanyol) dengan
pilar-pilar kokoh, desain melengkung dan lantai berandanya berjenjang, jendelanya
juga besar-besar dan lebar.
Tetap terawat meski sudah berusia satu abad lebih |
Bagaimana mungkin di sebuah desa kecil di lereng Gunung Marapi, berdiri megah
sebuah rumah indah bergaya Eropa? Adakah kisah di balik bangunan kokoh itu?
Ternyata, ada kisah indah kecintaan dan terimakasih seorang adik laki-laki
kepada kakak perempuan yang sudah membantunya.
Berikut kisah singkatnya.
Nagari Batupalano
Rumah megah di lereng gunung Marapi. (Foto: Wenny) |
Desa yang persis berada di lereng gunung Marapi ini, memiliki udara yang
amat sejuk, karena berada sekitar 1.400 m di atas permukaan laut. Untuk
menggambarkan betapa sejuk udara di desa itu, minyak goreng jarang dalam
kondisi cair, lebih sering beku seperti mentega, karena udaranya yang super
dingin.
Di mana posisi tepatnya Batupalano? Bila berkendara dari Padang Panjang
menuju Bukittinggi akan melalui Koto Baru. Nah di Koto Baru ada jalan belok ke
kanan, persis setelah stasiun KA lama atau sebelum talago, maka disitulah letak nagari Batupalano.
Batupalano nagari yang indah dan memiliki beragam obyek wisata alam. Dalam
perjalanan dari Koto Baru menuju Batupalano, kita akan disuguhi pemandangan yang memanjakan
mata. Birunya Gunung Marapi dan hijaunya hamparan kebun sayuran. Ditambah
kemilau air telaga yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan ladang sayuran khas
daerah berhawa sejuk.
Rumah Demang
Masyarakat sekitar mengenalnya sebagai Rumah Demang |
Masyarakat sekitar
menyebutnya sebagai Rumah Demang.
Memang benar, karena yang membangun rumah indah itu adalah seorang tokoh
Minangkabau: Demang Loetan Datuk
Rangkayo Maharadjo (1844-1941). Beliau
adalah seorang pejabat bumiputra asal Minangkabau yang disebut sebagai tokoh
‘elit modern’ Minangkabau.
Selain sebagai pejabat yakni sebagai Kepala Demang, Demang Loetan juga
seorang Datuk, yang memiliki otoritas di bidang adat Minangkabau.
Sewaktu menjabat sebagai Demang Batang Hari, seperti dikutip dari buku Demang Loetan Sang Politisi Volksraad Dari
Lereng Marapi, beliau terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat)
mewakili utusan Minangkabau.
Kisah hidup Demang Loetan terekam dalam buku ini, hingga para cucu cicit kemenakan tetap bisa terinspirasi semangat pantang menyerah beliau. |
Pada masa itu sangat sulit bagi anak desa yang tidak memiliki jalur ke
pendidikan formal untuk bisa bersekolah. Pemerintah penjajahan Belanda kala
itu, sangat selektif dalam memberikan pendidikan pada pribumi.
Loetan tidak menyerah. Ia mencari akal bagaimana agar bisa belajar membaca dan menulis serta menguasai
bahasa Belanda. Loetan kecil mencari tahu bagaimana caranya bisa mengambil
kursus privat langsung dengan orang bule Belanda.
Dibantu kakak perempuan
Suasana di dalam rumah Batupalano.Ada 6 kamar masing-masing untuk kemenakan perempuan |
Suatu saat ketika Loetan sudah menemukan guru yang ia cari, ia mulai
bingung karena ia tidak memiliki cukup uang untuk membayar gurunya. Sementara
ia tidak mau meminta kepada orangtuanya, karena ia ingin memberi kejutan kepada
mereka: bahwa ia juga bisa mandiri dan bekerja. Karena selama ini ia selalu dianggap
sebagai anak bungsu yang manja.
Ia pun meminta bantuan kakak perempuannya. Kebetulan ia tahu kakak perempuannya itu memiliki tabungan berupa perhiasan.
Loetan meminjam perhiasan kakak perempuannya itu, untuk membayar kursus. Awalnya,
Fatimah merasa berkeberatan, karena tidak yakin adik satu-satunya yang biasanya
manja itu, bisa sukses dengan cara belajar secara non formal. Demang Loetan berusaha
meyakinkan kakaknya itu.
“Suatu saat kalau saya berhasil, saya akan bangunkan kamu rumah yang
bagus,” janjinya sungguh-sungguh.
Akhirnya sang kakak menyerah. Ia mengiklaskan seluruh perhiasannya dibawa adiknya itu, sekaligus menjaga rahasia kepada
orangtua mereka bahwa Loetan mengikuti les privat kepada orang Belanda.
Rumah indah sebagai hadiah
Prof.DR. Maizar Rahman Datuk Rangkayo Maharadjo & istri. Berkat beliau Rumah Batupalano tetap terawat & indah hingga kini. |
Mengawali karier sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di stasiun kereta api
di Koto Baru, sampai akhirnya menjadi seorang pejabat tinggi: Demang atau
kepada distrik atau wedana pada zaman Belanda.
Sudah menjadi pejabat dengan penghasilan yang tinggi pada masanya, Demang
Loetan tidak melupakan jasa kakak perempuannya.
Ia menepati janjinya. Di lahan yang cukup luas, ia membangunkan sebuah rumah
megah untuk sang kakak perempuan tersayang. Kakaknya kebetulan memiliki 8 anak,
6 perempuan dan 2 laki-laki.
Rumah besar itu sengaja dibangun dengan 6 kamar, sesuai jumlah kemenakan
(keponakan) perempuannya. Dan di depan pintu kamar masing-masing tercantum nama
sang keponakan: Bungo Tanjung, Puti Rohana, Siti Zubaidah, Rukayah, Indam
Dewi dan Saudah. Si bungsu Saudah adalah ibunda saya tercinta.
Dalam adat Minangkabau, anak laki-laki selalu dikondisikan untuk merantau. Sehingga
tidak diperhitungkan untuk tinggal di rumah.
Jadi, rumah besar bergaya Eropa di desa Batupalano itu, adalah wujud rasa
terimakasih seorang adik laki-laki kepada kakak perempuanya. Karena berkat
kakak perempuannya itu, ia bisa memiliki pendidikan untuk bekal berjuang
mengubah nasibnya. Dari seorang pribumi anak desa di lereng gunung, menjadi
seorang pejabat tinggi, yang pada masa itu yang bisa menjadi pejabat mayoritas
hanya orang Belanda.
Rumah gadang (besar) sarat kenangan, hingga kini tetap berdiri kokoh, karena
sangat dirawat oleh cucu dan cicit Nenek Fatimah. Menjadi tempat pulang basamo
(pulang bersama) para cucu dan cicit Ina, panggilan sayang untuk Nenek Fatimah.
Tidak hanya menjadi tempat berkumpul saat keturunan Ina Fatimah pulang basamo ke kampung, Rumah Batupalano juga
memiliki fungsi sosial di kampung itu. Sering dipinjam untuk digunakan upacara
adat seperti pengukuhan Datuk (ketua adat) baru di wilayah itu.
Bahkan ada saran dari masyarakat agar Rumah Batupalago dijadikan salah satu
warisan budaya di Kampung Agam.
Para cucu dan cicit Ina Fatimah tetap bersatu dan kompak di bawah naungan
Datuk saat ini yang bijaksana, Prof. DR.
Maizar Rahman Datuk Rangkayo Maharadjo. Mantan Kepala Lemigas, mantan
Acting Sekjen OPEC dan Gubernur OPEC serta Komisaris Pertamina ini, yang tak
lain adalah anak dari Indam Dewi,
salah satu dari 6 keponakan perempuan Demang Loetan.
Datuk Rangkayo Maharadjo ini, sangat merangkul semua cucu dan cicit Ina Fatimah untuk selalu rukun dan kompak dalam segala hal, termasuk memelihara rumah indah peninggalan Inyiek Damang dan Ina Fatimah tersayang.*** MH
Foto-foto: Prof. DR. Maizar Rahman Datuk Rangkayo Maharadjo
#rumahbatupalano
#rumahpeninggalan
#rumahkeluargabesar
#rumahklasikeropa
#rumahindah
#rumahklasikcantik
#batupalano
« Prev Post
Next Post »