Sosok itu bagian dari hidupnya, ada di dekatnya, tapi seperti ada jarak yang memisahkan mereka. Dan ia amat sangat merindukannya...
Sabtu
siang. Panas terik seperti menjerit di langit Jakarta. Biasanya cuaca seperti
ini, apalagi akhir pekan, Bintang dengan gembira akan posting foto segelas
sirop lengkap dengan butiran es batu yang membuat gelasnya berembun. Hmmm
kenikmatan tak terperi di saat cuaca panas.
Atau, kalau di kulkas ada es krim, dia akan taruh es krim di gelas
bening beberapa scop ditambah toping sepotong wafer. Seketika WAG
teman-temannya akan ramai. Jeritan akan muncul di layar ponselnya: “MAUUU” Dan,
sambil tertawa-tawa Bintang akan membalas: ke siniiiii kuy!!!”
Beberapa puluh menit
kemudian, beberapa sahabatnya akan muncul. Rumah megah yang seringkali lengang
itu pun seketika ramai dengan gelak tawa gadis remaja hingga menjelang magrib. Senyum
mekar di wajah Bintang membayangkan teman-temannya tersayang. Namun, seketika
wajah Bintang berubah murung. Suasana riang gembira itu amat sangat ia
rindukan. Tapi ia tak mampu untuk mengulangnya.
Kondisi
sudah berubah total sejak beberapa bulan ini. Satu kata yang begitu dashyat
mengguncang dunia, memaksa semua orang harus dan harus berubah: pandemi!
Tak ada
lagi berangkat ke sekolah dan bertemu teman. Tak boleh lagi kunjung mengunjungi teman. Tak bisa janjian
di mall dengan teman, sahabat bahkan kerabat. Semua harus mematuhi aturan: di
rumah aja. Sekolah di rumah secara online.
Bekerja di rumah secara online. Wiken
di rumah saja. Menyapa teman hanya lewat HP. Ketemu teman sekelas hanya secara online lewat Zoom atau GMeet.
Hari, minggu dan bulan
berlalu, kondisi belum juga membaik. Semua gerakan masih serba dibatasi dan
penuh kewaspadaan. Seperti dalam suasana perang tapi musuhnya tidak kelihatan.
Musuh yang amat sangat berbahanya. Karena salah langkah bisa mengancam nyawa.
Nggak cuma satu orang, tapi bisa satu keluarga bahkan satu negara. Mengerikan.
Bintang sejujurnya
sudah sangat bosan berada di rumah terus-menerus. Ia
ingin sekali keluar
rumah. Apalagi sejak pandemi,
rumah cat putih berlantai dua di kawasan prestise dan asri di Jakarta itu,
makin sepi. Beberapa asisten rumah tangga pulang kampung dan belum kembali.
Hanya tinggal Mba Sri yang tinggal. Begitu juga satpam yang semula setiap hari
ada dua orang, hanya tinggal satu orang yang berjaga di depan. Menurut Mami,
“Mereka yang sedang pulang kampung belum boleh kembali ke Jakarta, karena untuk
mengurangi kemungkinan penyebaran Covid 19.” Bintang hanya mengangguk saja saat
Mami menjelaskan. Walau ia merasa makin sepi karena tidak ada lagi Mba Upi dan
Mba Dini yang biasanya suka menemani dia nonton teve atau bermain lempar-lempar
bola di halaman belakang. Tawa renyah para Mbak yang sedang nonton teve di
ruangan dekat dapur sudah tidak pernah terdengar lagi. Mba Sri lebih senang
nonton Youtube di HPnya daripada nonton teve. Dia nggak suka nonton Drakor
seperti Mba-Mba yang lain.
Untuk mengusir sepinya,
Bintang menuju halaman belakang. Halaman luas dengan rumput hijau terawat dan
bunga-bunga hijau menyejukkan mata. Mami sengaja tidak membuat kolam renang di
halaman belakang yang super luas itu, karena Mami lebih suka jalan-jalan di
rumput hijau ketimbang berenang di kolam renang yang biru berkilau seperti di
rumah teman Mami. Bintang duduk santai di kursi taman yang teduh di bawah pohon
alpukat yang rindang. Sebetulnya dia agak takut kalau sendirian di taman
belakang ini. Takut tiba-tiba ada serangga menghampirinya. Bintang sangat geli
kalau lihat belalang atau kumbang. Tapi
ia sudah terlalu jenuh berada di dalam rumah. Melawan takutnya pada serangga, ia
pejamkan mata. Ia berpikir, sedang apa ya teman-temannya? Tidur, main games atau sedang hampir mati kebosanan
seperti dia? Entah mengapa Bintang lagi malas membuka HP nya. Ia sedang ingin
sendiri. Tidak memikirkan apa pun.
Tiba-tiba ia mendengar
bel rumah berbunyi. Ia tidak perlu bergerak, karena Pak Satpam pasti sudah siap
membukakan pintu. Siapa kira-kira tamu yang datang? Tapi mungkin bukan tamu.
Karena sudah beberapa bulan ini tidak pernah ada tamu yang datang ke rumah ini.
Dia mendengar langkah-langkah memasuki rumah. Tanpa
menoleh dia sudah sangat kenal langkah salah seorang yang datang itu. Langkah
seseorang yang sangat ia rindukan. Tapi tak pernah berhasil ia raih. Seseorang
yang menjadi bagian dari jiwanya, tapi tak pernah membelainya dengan kata-kata
yang membuat damai hatinya.
Langkah itu mendekat ke
arahnya. Ia berharap seseorang itu menyapanya dan membelai kepalanya. Tapi
sedetik, dua detik dan setelah beberapa waktu hanya sapaan sekadarnya yang
terdengar, “Hai Bin, lagi ngapain di situ?” suara wanita muda yang amat merdu
di telinganya. Selalu dan sangat ia rindukan. Bintang membuka matanya, mulutnya
sudah mau menjawab, tapi wanita itu sudah berlalu.
Dengan suara lirih
Bintang menjawab, “Hai Mam, aku lagi merindukanmu....”
Suara wanita itu dari
ruang makan keras terdengar bercerita ke Mba Sri, kalau mobilnya masuk bengkel
sehingga ia harus naik taksi online
menuju rumah ini.
Bintang bangkit dari
duduknya dan melangkah menuju kamarnya. Sekilas dia melihat wanita itu sedang
duduk di meja makan, di sebelahnya ada seorang pria muda yang pernah beberapa kali datang. Tiba-tiba pria itu bicara
dengan suara lirih tapi tetap sampai ke telinga Bintang, “Anakmu tuh....”
Terdengar tawa renyah wanita itu sambil menjawab, “Ia, biar aja....”
Sampai di kamar Bintang
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Menelungkup di kasurnya. Napasnya
terasa sesak, air matanya sudah basah. Ia mulai tersisak. Ya, aku anak wanita itu. Aku anak kandungnya. Aku amat sangat
merindukan sapaan, pelukan, dekapan dan belaian darinya. Tapi meski berjarak sangat dekat, hatinya begitu jauh
dariku.... jerit batin Bintang
Ingin rasanya Bintang
berteriak tadi, “Mama, aku kangen Mama! Aku ingin Mama bicara, ngobrol dan
tertawa-tawa sama aku. Tapi kenapa Mama seperti tidak mengangggap aku anakmu?
Mama seperti menganggap aku nggak ada. Kenapa Mama????
Mami, itulah yang
menggantikan posisi Mama selama ini. Bila orang lain memanggil Nenek, Ninik
atau Eyang, Bintang memanggilnya dengan kata Mami. Walau Mami selalu ada di
dekatnya, selalu memanjakannya, tapi Bintang tidak bisa mengingkari perasaannya
yang paling dalam. Ia ingin Mama yang melahirkannya, menjadi dan bersikap seperti
mama mama yang lainnya.
*
Bintang baru menyadari
ada yang berbeda antara dia dengan teman-temannya, ketika ia masuk TK. Semua
teman-temannya diantar oleh Mama atau Papanya, tapi Bintang hanya diantar oleh Mami
dan Mba Sri. Semuanya berjalan baik-baik saja, karena tidak ada teman-temannya
yang peduli.
Sampai pada suatu hari
sebuah cerita sedih menjadi bagian hidupnya.
Dia ingat sekali waktu itu, dia masih duduk di kelas 5 SD. Ada satu temannya yang bertanya, “Itu Mama
kamu?” sambil menunjuk Mami yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah
menjemputnya.
“Bukan,” sahutnya. “Itu
Mami. Nenekku.”
“Kok Nenek yang jemput,
Mama kamu kemana?”
Bintang kaget ditanya
begitu. Dia tidak tahu harus jawab apa.
“Mama kamu kemana
Bintang?”
“Nggak tahu,” jawabnya
asal. Ia seketika lari menjauh dari temannya itu. Ingin dia lari dan lari terus
sampai suara temannya tadi hilang dari telinganya. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya
bisa lari sedikit menuju ke Mami. Tiba-tiba dadanya terasa sakit, ia ingin
menangis tapi tidak bisa. Senyum Mami membuat ia tidak mampu untuk mengeluarkan
air mata. Namun, ia berjanji akan menanyakan ke Mami, kenapa Mama tidak pernah
mengantar dan menjemputnya.
Bintang sudah mau tidur saat Mami masuk kamarnya dan
mencium keningnya. “Tidur nyenyak ya Sayang,” ucap Mami dengan lembut. Batin
Bintang seperti berperang, antara mau tanya atau tidak. Kalau tidak dia
tanyakan, ia tidak akan pernah tahu kenapa dia seperti ini. Tapi kalau dia
tanya, apakah Mami tidak akan marah? Bingung, sampai dadanya terasa berdebar
keras.
“Mami,” panggil Bintang saat neneknya hampir menutup
pintu kamarnya dari luar. Seketika Mami membuka lagi pintu lebih lebar.
“Kenapa Sayang? Kamu belum tidur?”
“Belum Mami. Aku nggak bisa tidur. Aku mau tanya sama
Mami,” akhirnya Bintang memberanikan diri.
“Tanya apa Sayang?” suara Mami seperti khawatir sambil
kembali masuk kamar dan duduk di bibir tempat tidur cucunya itu.
Bintang bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar dengan
bantal. Ia menghela napas dan memegang lengan neneknya.
“Mami ja... ja... ngan marah ya. Aku mau ta... ta... nya,”
ucapnya terbata.
Mami seperti sudah tahu apa yang akan Bintang tanyakan.
Beliau menghela napas dan menatap Bintang dengan tatapan sayu. Tiba-tiba air
mata sudah menggenang di mata wanita tua itu.
“Mami jangan nangis. Bintang jadi sedih,” ucapnya dengan
suara serak. Ia bimbang mau meneruskan pertanyaannya atau tidak. Tiba-tiba Mami
memeluk Bintang sambil menangis. Dadanya terguncang keras. Bintang spontan ikut
menangis. Mereka terus berpelukan sambil menangis sesenggukan.
Dan, malam itu Bintang baru tahu kisah di balik sikap mamanya.
Mama Papa Bintang menikah
muda. Begitu menikah mereka berdua berencana sama-sama kuliah di luar negeri. Dan
baru akan merencanakan memiliki anak setelah mereka sama-sama selesai kuliah, Tapi
ternyata Bintang hadir lebih awal. Saat Mama masih kuliah di semester awal ia
mengandung. Karena tidak ingin kuliah Mama tertanggu, lalu Mami menyarankan
untuk melahirkan di Indonesia, lalu setelah melahirkan kembali kuliah sampai
selesai. Si bayi akan dirawat oleh Mami sampai Mama kembali ke Indonesia.
“Mama Papa kamu setuju.
Jadi, setelah tiga bulan melahirkan, Mama kamu kembali kuliah menyusul Papa
yang sudah duluan kembali ke luar negeri,” cerita Mami.
“Rencana itu begitu
matang dan sempurna. Kamu tumbuh sehat dan Mama Papa kamu selalu menelepon
secara teratur menanyakan kabar kamu. Namun rupanya di tengah jalan ada badai
menyerang rumah tangga mereka,” Mami bercerita sambil terisak.
Mama Papa bintang
berselisih hebat sampai mereka memutuskan untuk berpisah. Papa Bintang kembali
ke Indonesia, tapi tidak pernah memberi kabar di mana tinggalnya. Sementara
Mama meneruskan kuliah sampai selesai. Namun setelah selesai kuliah dia tidak
langsung kembali ke Indonesia.
“Mama kamu sangat certas
hingga mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah lagi ke jenjang S2 di
luar negeri. Tapi, rupanya ia sangat sibuk di urusan kuliah sampai jarang
menelepon kamu. Dia merasa kamu aman dan baik-baik saja tinggal bersama Mami. Salahnya,
Mami juga tidak ingin mengganggu kesibukan Mama kamu, sampai Mami jarang
meminta dia untuk bicara dengan kamu walau lewat telepon,” ucap Mami sambil
mengusap matanya yang mulai banyak kerutnya.
Akhirnya, sampai kuliah
S2 nya selesai, dan kembali ke Indonesia, Bintang tidak sempat diasuh mamanya,
karena mamanya langsung sibuk dengan pekerjaan barunya di sebuah perusahaan
asing. Kadang-kadang Bintang merasa mamanya seperti kakak yang tidak ramah
dengannya. Hanya sesekali menyapa tapi lebih banyak sibuk dengan kesibukannya
sendiri. Papanya juga sudah tidak pernah memberi kabar. Mungkin berkabar dengan
mamanya, tapi tidak sampai ke Bintang. Entahlah.
Awalnya Mama masih
tinggal bersama dengan Mami, tapi sudah setahun ini Mama memutuskan untuk
tinggal di apartemen miliknya. Jadi, hanya sesekali datang ke rumah Mami. Seperti
hari ini, misalnya. Dia datang untuk meminjam mobil Mami, karena mobilnya
sedang masuk bengkel. Lalu siapa pria yang dengan Mama itu? Bintang tidak tahu,
mungkin teman kantornya atau siapalah. Bintang juga tidak ingin tahu.
*
Bintang berbaring di salah satu sofa yang berada di dekat
meja ruang tamu. Ia
melipat kakinya, lalu meletakkan sebuah buku gambar di pahanya. Satu-persatu
halaman ia lewati, mencari halaman yang belum disentuh oleh pensil. Ternyata buku gambarnya hanya memiliki
beberapa halaman bersih yang tersisa. Mungkin sebentar lagi akan habis, dan
Bintang harus membeli buku gambar yang baru. Tetapi karena masa-masa sedang
seperti ini, keluar untuk membeli buku gambar sepertinya tidak terlalu penting.
Ia mengambil salah satu pensil yang sudah diraut runcing
olehnya. Ia meletakkan ujung
pensil di bawah bibirnya. 'Hari ini gambar apa ya...?' pikirnya.
Akhirnya
ia memutuskan untuk menggambar salah satu tokoh dari serial televisi yang ia
tonton kemarin. Tangan Bintang mulai menggambar dengan lihai. Sejak kecil ia
memang pintar menggambar, tak jarang ia mengikuti lomba menggambar dan menjadi
salah satu pemenangnya.
Mata Bintang benar-benar tertempel pada buku gambarnya.
Kalau sudah menggambar, ia memang tidak bisa diganggu. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki
yang mendekat. Ia sangat mengenal
langkah itu. Mama. Tapi ia tidak ingin menoleh. Ia tidak ingin hatinya luka
kalau berharap Mama akan mengajaknya bicara dan memeluknya.
Seperti dia berharap Mama menjemputnya dari
sekalolah seperti teman-temannya. Kadang saat pulang sekolah Bintang menunduk.
Bukan karena malu bertemu dengan ibu-ibu temannya. Tapi ia tidak ingin memilhat
pemandangan indah tapi menyakitkan batinnya. Mama yang membawakan sepotong kue
untuk anaknya. Hanya sepotong kue tapi dilahap dengan nikmat saat perut lapar
pulang sekolah. Kue yang pasti terasa nikmat karena dibawa oleh tangan yang
penuh cinta, penuh sayang dan perhatian. Mama yang dengan muka marah mengomeli
anaknya yang keluar kelas terlambat, padahal teman-temannya sudah lama keluar
dan mamanya sudah menunggu lama. Mama yang mengomel mungkin menyebalkan bagi
temannya, tapi amat merdu di telinga
Bintang. Karena ia amat sangat merindukan suara seperti itu di ditujukan
kepadanya. Suara Mama yang khawatir pada anaknya tersayang.
Ah, Bintang hanya ingin menggambar dan terus menggambar. Supaya suatu hari ia bisa benar-benar menjadi seorang bintang. Bintang yang menyinari kehidupan keluarganya. Membuat bangga Mami dan orang-orang yang menyayangi dirinya.
Bintang bertekad, "Aku akan menjadi orang sukses!" Tanpa sadar, setitik air matanya keluar, "siapa tahu kalau aku jadi orang terkenal, Mama mau menengok ke arahku."***
Cerpen oleh: Kinanti
Ilustrasi: Pixabay
« Prev Post
Next Post »